Laman

29/10/11

HUKUM MEMINTA UNTUK DI RUQYAH

Selanjutnya Rosulullah SAW mengatakan bahwa pada umatnya terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Lalu beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Sebagian sahabat berkata, “Barangkali mereka adalah para sahabat Rosulullah SAW”. Sedangkan sebagian yang lain berkata, “Barangkali mereka adalah orang-orang yang dilahirkan pada masa Islam. Sehingga mereka tak pernah berbuat syirik kepada Allah sedikitpun.” Berikutnya mereka menyebutkan beberapa kemungkinan yang lain.

Mereka memberitahukan perkaranya kepada Rosulullah SAW tatkala beliau keluar. Maka beliau bersabda,

هُمُ الَّذِيْنَ لَا يَسْتَرْقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak meminta dikay, tidak bertathayyur dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka”.

Dalam hadits itu Nabi Muhammad SAW menyebutkan golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab. Mereka itu adalah orang-orang yang:

A. Tidak minta diruqyah.

Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"Ini merupakan lafadz tambahan dari prasangka rawi dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak bersabda (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) karena Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:

مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

“Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat" (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dari Jabir)

dan bersabda:

لَابَاْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا

"Boleh menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya." (HR. Muslim, Abu Daud dari Sahabat Auf bin Malik)

Ditambah lagi dengan amalan Jibril 'alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meruqyah shahabat-shahabatnya.
Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah:

"Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allâh. Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi (orang yang meruqyah) adalah orang yang berbuat baik."

Beliau berkata pula:

"Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada Allâh dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta tidak pula minta di kay." Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul Qayyim.


B. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)

Mereka tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha' dan menikmati musibah yang menimpa mereka.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata:

"Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (لاَ يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.

Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:

أَنَّ النبيَّ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ بَعَثَ إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيْبًا، فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا، ثُمَّ كَوَّاهُ عَلَيْهِ

Bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.

Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu'anhu :

Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup.”

Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:

Sesungguhnya Nabi mengkay As'ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking Juga dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu':

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ عَنِ النبيِّ ص الشِّفَاءُ فِى ثَلَاثٍ : بِشَرْبَةِ عَسَلٍ, وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ, وَكَيَّةِ نَارٍ وَاَنْهَى أُمَّتِيْ عَنِ الْكَيِّ. رواه البخاري

“Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan kay dengan api dan saya melarang umatku dari kay. (Dalam riwayat yang lain: "Dan saya tidak menyukai kay").

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits tentang kay itu mengandung 4 hal yaitu:

1. Perbuatan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.

2. Rasulullah tidak menyukainya. Hal itu tidak menunjukkan larangan.

3. Pujian bagi orang yang meninggalkan. Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.

4. Larangan melakukan kay. Hal itu menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.


C. Tidak Melakukan Tathayyur

Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.


4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh


Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh.

Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja' (pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan qadha'-Nya.

Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.

Allâh Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ .....(٣)

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan cukupi segala kebutuhannya."
(Ath-thalaq: 3)

Mereka meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh walaupun mereka sangat butuh dengan cara bertawakkal kepada Allâh. Seperti kay dan ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh. Apalagi perkara yang haram.

Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.

Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang disyari'atkan, sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah radhiAllâhu’anhu secara marfu'.

ما أَنْزَلَ الله دَاءً إلا قد أَنْزَلَ له شِفَاءً عَلِمَهُ من عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ من جَهِلَهُ

”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”

Dari Usamah bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam , datanglah orang Badui dan mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami saling mengobati?"

فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ

Beliau menjawab: "Ya, wahai hamba-hamba Allâh saling mengobatilah, sesungguhnya Ta'ala tidaklah menimpakan sesuatu kecuali Dia telah meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.” (HR. Ahmad)

Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini mengandung penetapan sebab dan akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang yang mengingkarinya.

Perintah untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya (misalnya lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang tawakkal. Bahkan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari sebab yang telah Allâh Ta'ala jadikan sebab dengan qadar dan syar'i. Orang yang menolak sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.

Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak hikmah dan syari'at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.

Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk mubah, lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar hadits ini dan yang semakna dengannya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan adalah madzhab Syafi'i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar, Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam Malik menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik: "Boleh berobat dan boleh juga meninggalkannya."

Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidaklah wajib menurut jumhur para imam, sedangkan yang mewajibkan hanyalah sebagian kecil dari murid Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.”

Kesimpulan hukum ruqyah terbagi 4 bagian :

1. Meruqyah orang lain

Hukumnya adalah mustahab (sunnah). Sebab Rasulullah SAW bersabda :

مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

“Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat" (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dari Jabir)

Meruqyah termasuk perkara yang memberikan manfaat kepada orang lain.

2. Meminta diruqyah

Meminta diruqyah berarti ada ketergantungan kepada selain Allah, maka ini akan mengurangi tawakkal sehingga orang seperti ini kurang memiliki keutamaan sebagaimana dijelaskan dalam hadits

3. Tidak menolak orang lain untuk meruqyahnya tanpa memintanya

Hukumnya adalah mubah (boleh) Yang demikian itu tidak mengurangi kesempurnaan Tauhid, sebab Rasulullah SAW tidak menolak ‘Aisyah untuk meruqyahnya. Adapun hadits di atas berbunyi, “Tidak minta diruqyah”. Tentunya berbeda antara seorang yang diruqyah dengan memintanya dan seorang yang diruqyah tanpa memintanya.

4. Tidak Bersedia untuk Diruqyah

Rosulullah SAW tidak menolak ketika diruqyah oleh malaikat Jibril AS dan ’Aisyah RA.

Wallahu a’lam bishshawab.

2 komentar:

Rahmat BRC Soreang mengatakan...

subhanalloh menarik sekali kang...

Anonim mengatakan...

Abu Darda radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله أنزل الداء وأنزل الدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام

“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obat dan menciptakan obat untuk setiap penyakit. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan barang haram!” ( HR Abu Dawud )

Berobat tdk bertentangan dengan Ketawakkalan. Tentunya dg asumsi bhw berobat yg dimksdkan adalah yg dihalalkan. Ketika obat/pengobatan tsb diharamkan, maka hukumnya haram.

Dahulu bbrp sahabat Nabi saw sblm berislam biasa melakukan terapi Ruqyah tetapi krn menyimpang dari kaidah syariat maka mrk menghentikannya lalu mengganti dengan cara Ruqyah yg benar sebagaimana yg dimaksud oleh Nabi saw.

Auf bin Malik Al Asyja’i berkata;
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
“Kami biasa melakukan ruqyah pada masa jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah! bagaimana pendapatmu tentang ruqyah?’ beliau menjawab, “Peragakanlah cara ruqyah kalian itu kepadaku. Tidak ada masalah dengan ruqyah selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim no. 4079)

Dan dari Hadits tsb, muncul istilah:
A. Ruqyah Syar'iyyah (yg sesuai dg syariat yg dibolehkan dipakai utk berobat) dan
B. Ruqyah Jahiliyyah / Ruqyah Syirkiyyah (yg mengandung unsur kesyirikan dan dilarang utk diminta dan diterapkan).

WaLLohu a'lam.
(Rosyad)